Rabu, Oktober 22, 2008

Menerjang Resiko


Dua biji tanaman tergeletak bersisian di dalam tanah musim semi yang subur.

Biji pertama berkata, " Aku ingin tumbuh! Aku ingin menghujamkan akar-akarku dalam-dalam ke tanah dibawahku, dan menusukkan kecambah-kecambahku untuk menembus lapisan tanah di atasku. Aku ingin menebarkan kuncup-kuncupkuyang lembut laksana panji-panji yang mengumumkan datangnya musim semi....Aku ingin menikamati kehangatan mentari di wajahku serta berkah embun fajar di atas kuntum-kuntum bungaku!"

Dan Ia pun tumbuh.

Biji kedua berkata,"Aku takut. Kalau aku mengarahkan akar-akarku ke tanah ke bawah sana, aku tidak tahu apa yang akan aku hadapi di dalam kegelapan. Bila aku mencari jalan melalui tanah yang keras di atas sana, boleh jadi aku akan merusakkan kecambah-kecambahku yang halus....bagaimana pula aku membiarkan pucuk-pucukku terbuka dan seekor bekicot mencoba melahapnya? Dan bila aku memekarkan kembang-kembangku, seorang anak kecil mungkin akan merenggutku dari tanah.
Tidak, jauh lebih baik bagiku untuk menanti di sini sampai keadaan menjadi aman."

Dan ia pun menunggu.

Seekor babon yang mengais-ngais mencari makanan di atas tanah permulaan musim semi akhirnya menemukan biji yang tengah menunggu itu, dan secepat kilat menelannya.

*Mereka yang menolak untuk menempuh resiko dan untuk berkembang akan ditelan oleh kehidupan*

Sentuhan Tangan Sang Maestro


Benda itu memar dan penuh goresan,
dan si juru lelang menganggapnya nyaris tak berharga baginya
Untuk membuang-buang waktu demi biola tua itu,
Namun ia mengangkatnya seraya tersenyum.
"Hebat nian yang saya tawarkan ini, hadirin yang budiman," ia berteriak,
"Siap yang akan mulai menawar?"
"Satu dolar, satu dolar," kemudian, dua dolar! Hanya dua dolar?
"Tiga dolar, dan siap yang berani menawarnya tiga dolar?"
"Tiga dolar, satu; tiga dolar dua; terjual untuk tiga dolar...."
Tetapi tidak,
Dari dalam ruangan itu, jauh di belakang
seorang laki-laki berambut abu-abu
Maju ke depan dan memeungut alat gesek;
Kemudian, meniup debu dari biola tua itu,
dan mengencangkan senar-senar yang kendor,
Ia memainkan sebuah melodi yang manis
Laksana senandung pujian seorang malaikat.

Musik itu berhenti, dan sijuru lelang,
Dengan suara yang pelan dan rendah,
Berkata: " Apa yang saya taawrkan untuk biola tua itu?"
Dan ia pun mengangkat alat gesek itu.
"Seribu dolar, dan siapa menambahnya menjadi dua dolar?"
"Dua ribu dan siap menambahnya menjadi tiga ribu?
Tiga ribu satu kali; tiga ribu, dua kali;
Laku dan terjual" katanya

Orang-orang bersorak, namun beberapa diantaranya berteriak,
"Kami tidak mengerti sama sekali
Apa yang telah mengubah nilainya?"
Dengan cepat datang jawabannya
"Sentuhan tangan sang maestro."

Dan seringkali seseorang yang hidup secara tidak selaras, dan memar serta penuh torehan dosa,
Ditawarkan murah-murah kepada orang yang berpikiran picik.
Mirip sekali dengan biola tua itu.
"Semangkuk sup yang berceceran," segelas anggur;
Suatu permainan-dan ia meneruskan perjalanan.
Ia akan "laku" sekali, dan "laku" dua kali
Ia "laku" dan hampir terjual."

Namun Sang Maestro datang dan orang-orang tolol itu
Tak akan pernah benar-benar memahami
Nilai suatu jiwa dan perubahan yang ditempa
Oleh sentuhan tangan Sang Maestro